BERSANTAI DI MUNARA

Alhamdulillah banget, di bulan April 2017 M ada beberapa tanggal merah selain hari Ahad. Artinya, ada banyak waktu buat kami mengobati kekangenan pada alam, plus mengikuti perintah Allah Subhanahu Wataala dalam Alquran surah ke-3 ayat 137 dan surah ke-6 ayat 11. Lihat sendiri di Alquran, ya? Itung-itung menambah pahala :)

Maka, pada hari Ahad, 16 April 2017 M, saya, Piet, dan Wahyu pun coba menapaki gunung kebanggaan warga Kampung Sawah, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, yaitu Gunung Munara. Pada malam Ahad, Wahyu, teman saya asal Bekasi Timur yang tinggal di Kemayoran, menginap di rumah saya. Kami berangkat bersama dari Bekasi, sedangkan Piet berangkat dari Karadenan, Bogor. Kami janji bertemu di Pasar Parung, Bogor pada pukul 05.30 WIB.

Pukul 03.00 WIB, Ahad pagi buta, saya dan Wahyu memulai perjalanan. Hehehe, seperti waktu ke Sanggabuana bareng Piet, saya dan Wahyu sarapan dulu di warung nasi emaknya si Fakhruroji. 




Tepat pukul 03.30 WIB, dengan motor win saya, kami memulai perjalanan. Kami melewati daerah Teluk Pucung, Sumarecon, Kalimalang, Cawang, Pasar Minggu, Cilandak, Lebak Bulus, Ciputat, dan Parung. Sekitar pukul 05.10 WIB, kami melaksanakan salat subuh berjamaah.



Kami melaksanakan salat subuh di Masjid Jami Nurul Huda, Parung.


Selesai melaksanakan salat, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Parung. Di depan pasar, kami berhenti untuk membeli perbekalan ala kadarnya berupa air mineral, air buah, dan dua bungkus roti.


Karena sulit menghubungi Piet, saya dan Wahyu pun membatalkan pertemuan di Pasar Parung. Saya mengirim sms ke Piet untuk bertemu di Sasak Hijau, begitu saya menyebutnya. Dari arah Ciputat, kami mengambil jalur ke kanan memasuki Pasar Parung yang cukup padat. Setelah itu kami berjalan lurus. Setelah sampai di perempatan Ciseeng, kami terus lurus. Pada pukul 05.45 WIB, sampailah kami di Sasak Hijau. Wahyu kembali menghubungi Piet.



Tapi, Piet tidak menjawab panggilan Wahyu. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sekitar 10 menit dari sasak, sampailah kami di jalan menikung ke kanan. Di sebelah kirinya terdapat gapura. Di samping gapura itu ada penunjuk atau plang bertuliskan lokasi Situs Gunung Munara. Kami pun berbelok ke kiri. Kami menyusuri jalan hingga sekitar 200 meter. Setelah itu, di sebelah kanan, kami melihat gapura yang di atasnya bertuliskan lokasi atau jalan masuk Gunung Munara. Kami pun memarkir motor di tempat itu. Kami langsung membayar tiket masuk dan parkir sepeda motor sebesar Rp20.000,00. Saya dan Wahyu tidak langsung naik. Kami menunggu Piet di salah satu warung yang banyak tersedia di tempat itu. Waktu telah menunjukkan pukul 06.15 WIB.



Setengah jam berikutnya, Piet pun tiba. Rupanya di Karadenan hujan deras sehingga ia agak terlambat memulai perjalanan. Setelah melakukan persiapan, tepat pukul 07.30 WIB, kami bertiga pun memulai pendakian.


Baru beberapa puluh meter berjalan, kami melihat plang yang menginformasikan ketinggian Gunung Munara. Masya Allah, saya sendiri agak kaget melihatnya. Di situ tertera angka 367 mdpl. Artinya, ketinggian Gunung Munara hanya 367 mdpl. Padahal, dari banyak informasi yang saya baca di internet, ketinggian Gunung Munara mencapai 1119 mdpl. Yah, sudahlah! Kadung sudah ada di sini, mau bagaimana lagi. Kami pun tetap melanjutkan pendakian di .... Ah, bingung saya menuliskannya. Kata teman saya yang sarjana geografi, salah satu syarat sebuah gundukan disebut gunung adalah memiliki ketinggian di atas 600 mdpl. Ya, sudahlah, karena warga setempat menyebutnya gunung, maka dalam tulisan ini, saya menuliskannya dengan sebutan gunung :(



Trek pertama, kami menyeberangi sungai melalui jembatan bambu. Ada dua jembatan bambu di sini, jembatan bambu rendah dan jembatan bambu tinggi. Kami memilih rute jembatan bambu tinggi. Padahal sih, ujungnya sama saja :) 



Piet berjalan paling depan. Wahyu berikutnya. Saya terakhir. Menurut cerita, katanya, biasanya banyak anak-anak di jembatan ini yang memberitahukan rute pendakian lalu mereka meminta diberikan uang receh. Tapi, kami tidak bertemu mereka. Mungkin katanya aja kali, ya? Hoax kali :)




Trek selanjutnya sangat landai mengikuti pagar perkebunan warga di sebelah kiri dan pohon bambu di sebelah kanan.



Baru beberapa ratus meter berjalan, terlihat penampakan bukit mirip kukusan.



Trek selanjutnya memasuki areal pohon bambu. Jalurnya landai.



Lama-kelamaan, jalurnya mulai menanjak. Treknya tanah. Tentu sangat licin jika musim hujan tiba.



Ada yang sengaja meletakkan tulisan ini di sini. Ada embernya juga bagi yang mau memberi.



Trek terus menanjak dengan kemiringan standar. Kiri-kanan masih dihiasi pohon bambu.


Selepas pohon-pohon bambu, ada batu besar. Batu-batu seperti ini banyak ditemui di sini. Mungkin, memang batu-batu inilah ciri khas Gunung Munara. Kami pun berfoto, pura-pura lelah :)

Tiba-tiba si Piet ingat bahwa ia lupa membawa tempat airnya yang ia letakkan di tempat parkir. Ia pun memutuskan untuk turun kembali. Saya dan Wahyu menunggu. Selang 15 menit, Piet sudah kembali lagi.



Setelah melewati trek yang sedikit menanjak, tibalah kami di tempat datar. Tepatnya di bawah batu besar. View atau pemandangan dari sini lumayan indah.



Berdiri di batu ini harus hati-hati karena di bawahnya itu jurang. Kalau terpeleset, bisa berisiko. Makanya, berdirinya jangan terlalu di pinggir, ya? Apalagi kalau musim hujan :) 


Di tempat ini ada pos. Kami diminta membayar kembali. Setiap orang Rp5.000,00. Katanya, untuk kebersihan. Ketika saya bertanya bahwa saya sudah membayar tiket masuk di bawah, penjelasan dari si anak muda penunggu pos itu membingungkan saya. Di pos itu tertera spanduk Benteng Bogor Raya (BBR). Kami pun membayar tiket (lagi) sebesar Rp15.000,00/tiga orang.



Baru beberapa meter dari tempat tersebut, kami tiba di lorong batu berakar. Ini adalah salah satu ikon Gunung Munara. Kami harus berjalan melewatinya. Jalur selanjutnya adalah tanjakan memutar.


Sebelum melanjutkan, saya duduk beristirahat menunggu Piet dan Wahyu. Karena tahu bakal difoto, saya akting pura-pura lelah :)


Akhirnya, kami sampai di puncak pertama. Saya sebut saja, Puncak I. Di Puncak I ada tiga gundukan batu. Wahyu mendaki gundukan satu terlebih dahulu.

Butuh sedikit usaha dari Piet untuk untuk mendaki gundukan satu ini.



Sampai di atas gundukan satu, tersaji pemandangan yang cukup mempesona.


Selepas gundukan satu, kami menaiki gundukan dua. Gundukan dua tidak terlalu tinggi. Gundukan tiga-lah yang cukup menantang. Piet naik duluan. Setelah itu, Wahyu pun memanjatnya.

Kami tiba di atas Puncak I pada pukul 08.50 WIB. Pemandangan di sini cukup mengesankan. Bukit kukusan terlihat di kejauhan.



Puncak I mampu menampung sekitar 5-7 orang. Bukan hanya kami yang ada di sini. Oh ya, di sini harus hati-hati. Kalau tergelincir, matilah sudah... :)


Kami cukup lama mengobrol di sini. Anginnya sepoi-sepoi dan pemandangannya cukup indah.



Setelah puas, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak berikutnya. Namun, kami harus menuruni Puncak I ini melalui jalur tempat kami memanjat tadi. Piet turun lebih dulu. Wahyu mengikutinya. Wahyu terlihat cukup kesulitan menuruninya. Piet memberikan instruksi dan motivasi dengan sabar. Cie cie cie... :)



Segala cara dicoba oleh Wahyu untuk bisa menuruni Puncak I.



Kelamaan menunggu Wahyu turun, saya pun menuruni Puncak I dari trek yang berbeda... :)



Selepas Puncak I, kami menaiki Puncak II yang letaknya bersebelahan. Kedua puncak ini dikenal dengan nama Batu Belah. Puncak II lebih tinggi beberapa meter dari Puncak I. Untuk menuju Puncak II, kita menggunakan tali untuk naik dan turun. Area puncak hanya bisa ditempati oleh 3-5 orang saja. Naik dan turunnya pun harus bergantian. 

Meskipun di foto ini saya dan Piet terlihat santai, sebenarnya kami merasa deg-degan. Sejengkal di belakang pantat kami adalah ruang kosong alias jurang. Kalau sampai jatuh, hiiii... jangan dibayangkan, ah!



Piet menuruni Puncak II dengan tali. Butuh keberanian dan tenaga ekstra untuk melakukannya.


Ini dia batu belah itu. Piet berada di antara keduanya. Piet menghadap batu Puncak I. Di belakangnya batu Puncak II.



Selepas Puncak II, kami ke Puncak III. Untuk berada di sana, kami harus memanjat akar pohon. Lihat tuh aksi si Piet! .... :)


Wahyu juga ga mau kalah... :)



Tuh lihat si Piet! Asyik sekali dia di atas pohon! :)



Mejeng sejenak... mumpung si Piet masih di atas. Dia engga diajak selfi karena dia tidak membawa kacamata... :)



Kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak tertinggi, yang saya sebut Puncak IV. Setelah melewati trek yang di kiri-kanannya dikelilingi semak-semak, kami tiba di percabangan jalan. Kata Wahyu, berdasarkan informasi yang dia baca di internet, kedua jalur tersebut sama-sama menuju Puncak IV. Wahyu pun mengambil jalur kiri. Piet mengikutinya.

Treknya menanjak, tapi tidak terjal.



Melewati akar pohon dan...tentu saja, batu.



Treknya berbelok ke kanan. Menanjak, tapi tidak terjal. 



Dari sini saya melihat penambangan kapur di kejauhan.



Wah, penambangan kapurnya parah banget! Lama-kelamaan, nih gunung akan habis digali dan diangkut. 


Bro, kamu harus segera ke Gunung Munara, ya! Sebelum gunung ini hilang...sebelum gunung ini datar... :)



Sampailah kami di Puncak IV. Di situ ada gubuk berisi warung. Kami memesan mi goreng dengan telur seharga Rp10.000,00/porsi.



Kami melihat di blog lain atau di Youtube, banyak orang yang melompat dari satu batu ke batu lainnya di Puncak IV ini. Saya juga ga mau ketinggalan. Saya bersiap-siap untuk melakukannya.



Huft!!! 



Giliran si Piet ...


Wahyu juga...



Kebanggaan setelah mencapai puncak tertinggi... kebanggaan akan indahnya negeri ini! 


Hidup Indonesiaku!!!



Jangan ngaku orang Indonesia, kalau belum pernah mendaki puncak-puncak tertingginya... :)



Pukul 10.30 WIB kami memutuskan untuk turun. Kami mengambil jalur kiri. Jalur kiri yang kami turuni adalah jalur kanan yang tidak kami ambil saat bertemu percabangan saat berangkat tadi.


Rupanya, treknya cukup curam :)



Si Wahyu jalan gagah banget. Rupanya dia mau kentut dan tak ingin suara kentutnya didengar temannya, apalagi sampai dihirup baunya. Ueee ueee ueeee... Sue banget dah ah! :)

Cuma butuh setengah jam bagi kami untuk turun. Kami merendam kaki sejenak di sungai.


Pada pukul 11.00 WIB, kami meninggalkan Gunung Munara dan bersiap-siap menuju Ciampea.

Buat kamu-kamu yang menuju Gunung Munara, ada apresiasi dari saya pribadi tentang gunung ini. Boleh ditanggapi, boleh juga dicueki, ya! :)

Menurut saya, Gunung Munara bukan gunung karena tingginya hanya 367 mdpl. Di sini tidak akan ditemui dinginnya udara, pekatnya kabut, atau sulitnya bertahan hidup (survival). Jadi, bagi kamu yang sering mendaki, tempat ini tidak memberikan sensasi, selain puncak batu yang menjadi ikonnya.


Butuh waktu sekitar satu setengah jam bagi kami untuk menuju Ciampea. Di tempat ini kami menuju rumah teman kami, yaitu Pak Heru Pranyata. Kami hanya sekadar ingin bersilaturahmi ke sana. Kami disambut oleh Pak Heru dan keluarganya. Kami disediakan opor ayam, pastel, mi goreng, singkong rebus, jambu biji, pisang, getuk, sambal, dan masih banyak lagi. Kami pun mengisi perut sampai kenyang. Terima kasih, Pak Heru! :)


Di sini juga saya melihat plang Pondok Pesantren Darul Fallah. Saya teringat dulu, antara tahun 1993-1996, saya pernah mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) di tempat ini. Ada kerja sama antara pesantren saya dengan pesantren ini. Yang paling berkesan adalah saat pertandingan persahabatan sepak bola antara kami dengan santri di tempat itu. Namun, yang paling berkesan adalah saat kami harus pulang sendiri dari situ menuju rumah kami di Bekasi. Sungguh perjuangan berat saat itu! Ah, sudahlah! :)


Dari Ciampea, kami langsung menuju Ciputat. Kami menghadiri acara peresmian kantor sekretariat Forum Komunikasi Mahasiswa Attaqwa (FKMA) di belakang Madrasah Aliyah Pembangunan. Tapi sayang, kami terlambat. Acara peresmiannya telah selesai. Kami hanya mengobrol santai. Yang tampak di foto dari kiri ke kanan adalah Fitri, Sari, Rizki, saya, dan Luby, Ketua FKMA. 


Pukul 17.30 WIB, kami pun meninggalkan Ciputat. Dari dulu hingga saat ini, kemacetan tak pernah hilang. Kami pun harus mengalaminya. Piet kembali ke Karadenan, sedangkan saya dan Wahyu kembali ke Bekasi. Sampai di Stasiun Pasar Minggu Baru, Wahyu turun lalu menaiki kereta menuju rumahnya di Kemayoran. Saya terus memacu motor saya menuju Bekasi. 

Pukul 19.45 saya tiba di Radio Attaqwa. Lima belas menit berikutnya saya mengisi siaran. Selepas siaran, saya bertemu Bang Al. Ia memberikan saya kaos pendaki. Terima kasih, Bang Al. Saya merasa diberikan "ijazah" sebagai pendaki oleh Bang Al. Tapi, kata Bang Al, itu bukan ijazah. Itu hanya sekadar sertifikat. Kalau sudah pernah mendaki Rinjani atau Kerinci, barulah berhak mendapat ijazah pendaki. Oke deh, semoga kelak saya bisa mendapatkan ijazah tersebut :)


Comments

Popular posts from this blog

MENDAKI SANGGABUANA

Mengajak Anak dan Teman Mendaki Perdana ke Gunung Sanggabuana, Karawang