MENDAKI SANGGABUANA
Karawang dan Bekasi adalah dua wilayah daerah tingkat dua yang bertetangga. Dua tempat ini diabadikan oleh puisi karya Chairil Anwar berjudul "Karawang Bekasi". Puisi ini cukup populer di kalangan masyarakat Karawang dan Bekasi. Bukan karena wilayah atau puisi tersebut, saya memiliki teman orang Karawang. Kebetulan, saya yang warga asli Bekasi bertemu dengan Piet Fitriyadi, alumnus Ekonomi UGM, asal Karawang. Kami bekerja di kantor dan divisi yang sama.
Kami berdua ingin menapaki tempat terendah dan tertinggi di Karawang dan Bekasi. Sebelumnya, kami telah menapaki tempat terendah di Bekasi yaitu daerah pantai di dekat Kampung Pondok Dua, Babelan. Oleh karena itu, kami pun ingin menapaki tempat tertingginya. Ternyata, tempat tertingginya terdapat di Karawang, tepatnya di puncak Gunung Sanggabuana, yaitu 1291 mdpl. Kami pun bersepakat untuk menapakinya. Maka pada hari Ahad, 26 Maret 2017M/27 Jumadil Akhir 1438H, kami pun menyambangi Gunung Sanggabuana.
Kami berdua ingin menapaki tempat terendah dan tertinggi di Karawang dan Bekasi. Sebelumnya, kami telah menapaki tempat terendah di Bekasi yaitu daerah pantai di dekat Kampung Pondok Dua, Babelan. Oleh karena itu, kami pun ingin menapaki tempat tertingginya. Ternyata, tempat tertingginya terdapat di Karawang, tepatnya di puncak Gunung Sanggabuana, yaitu 1291 mdpl. Kami pun bersepakat untuk menapakinya. Maka pada hari Ahad, 26 Maret 2017M/27 Jumadil Akhir 1438H, kami pun menyambangi Gunung Sanggabuana.
Kami berangkat pukul 03.00 WIB dari Bekasi. Sebelum berangkat, kami sarapan dulu di warung nasi uduk emaknya si Fakhrurozi, mantan murid saya.
Dengan menggunakan win100, kami pun melaju menuju Karawang. Kami melewati rute Karang Satria, Indoporlen, Tambun, Cibitung, Cikarang, Lemahabang, Tegal Danas, Jembatan Cibeet, Kobak Biru, Pangkalan, dan sampai di Kecamatan Loji, Karawang. Kami melaksanakan salat subuh berjamaah di Masjid Al-Muhajirin, Pangkalan. Setelah tiba di perempatan Pasar Loji, kami mengambil jalan ke kanan menuju arah Curug Cigentis. Sebelum Curug Cigentis, kami memarkirkan motor di rumah salah seorang warga.
Di tempat ini banyak tersedia penjual nasi. Salah satunya seperti tampak pada gambar di bawah ini. Menu lauknya beragam. Ada telur, kikil, bihun, mi goreng, tahu, oncom goreng, dan kue-kuean semacam pisang goreng, pisang aduk, dan lain sebagainya. Rasanya pun sangat nikmat. Tapi yang paling penting, harganya murah. Nasi uduk dengan paket lauknya hanya Rp5.000,00. Kami tidak makan di sini karena masih kenyang. Nasi kami bungkus untuk dimakan di puncak biar lebih mantap.
"Itu gunung yang akan kita daki," ucap Piet. Awalnya saya percaya saja. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Gunung yang akan kami daki ada di balik bukit itu.
Kami tiba di tempat penitipan motor milik warga pukul 06.10 WIB. Setelah itu kami pun melakukan persiapan pendakian. Jadi, dibutuhkan waktu 3 jam bagi kami untuk menempuh jarak Bekasi-Karawang. Itu pun dengan laju kendaraan dengan kisaran 60 km/jam plus salat subuh berjamaah. Mengapa berangkatnya pagi sekali? Di samping mengejar udara pagi dan menghemat waktu, Piet mengemukakan alasan lainnya, yaitu agar tidak membeli tiket. Benar saja, ketika melewati depan kantor kelurahan, belum ada petugas jaga yang meminta retribusi Rp10.000,00/orang. (Hehehe, lumayan menghemat...tapi, jangan ditiru, ya! Uang retribusi itu kan bisa menambah devisa negara :) )
Ini adalah plang bertuliskan "Gunung Sanggabuana 5 km." Kami memulai treknya dari sini ke arah kanan. Kalau mengambil trek lurus, itu arah ke Curug Cigentis. Kami mulai melangkah menyusuri samping dan belakang rumah warga pukul 06.30 WIB.
Sebelum berangkat, saya menyempatkan berfoto juga. Di sini saya memanjatkan doa, "Ya Allah, segala puji bagi Engkau. Izinkan kami hari ini mendaki Gunung Sanggabuana. Tujuan kami hanya satu, ya Allah. Kami ingin mengagumi keindahan ciptaan Engkau. Ridailah perjalanan kami, ya Allah. Selamatkan kami hingga tiba kembali ke rumah bertemu dan berkumpul dengan keluarga tercinta. Aamiin yaa rabbal aalamin. Bismillahi tawakkaltu alallah. La haula wala quwwata illa billahi al-aliyyi al-aziim. Bismillahi majreha wa mursaha." Saya dan Piet pun bersalaman dan memantapkan niat dan langkah kami.
Selepas melewati beberapa rumah warga, mata kami dimanjakan oleh pemandangan persawahan yang sejuk. "Teu nyangka kalo ini Karawang. Indah banget!" seru Piet.
Bukan hanya Piet, saya juga ingin difoto dengan latar belakang pemandangan ini. Di belakang saya adalah rute awal menuju Gunung Sanggabuana.
Kami juga melewati sungai yang indah pemandangannya dan sejuk airnya. Melihat sungai ini, Piet langsung mencuci muka dan tangannya, ""Teu percaya ini Karawang. Sejuk banget!" serunya. Baru beberapa puluh meter berjalan, sudah dua kali dia mengucapkan kalimat ini.
Selepas sungai itu, trek mulai menanjak. Untuk menambah pengetahuan, kami berjalan bersama para petani yang hendak menuju ke ladang mereka di atas sana. Karena mereka berbahasa Sunda, tentu saja hanya si Piet yang asyik mengobrol dengan mereka. Saya hanya mengerti percakapan mereka sedikit saja.
Setelah 30 menit berjalan, tibalah kami di papan penunjuk jalan ini. Sekitar 50 meter sebelum tempat ini ada pos retribusi. Pendaki harus membayar Rp10.000,00/orang. Tapi, lagi-lagi kami tidak membayarnya. Alasannya, menurut saya, ada dua. Pertama, petugasnya belum datang karena saya lihat sekilas, pos itu kosong. Kedua, menurut saya, ini alasan utamanya, kami berdua dikira kerabat, teman, tamu, atau apalah dari petani-petani yang berjalan bersama kami karena kami mengobrol dengan santai diselingi gelak tawa. Karena itu, kami tidak dimintai uang tiket. (Hehehe, bener banget hadis Nabi, silaturahmi mendatangkan rezeki....)
Menurut plang ini, kami harus mengikuti jalur kiri jika ingin menuju Puncak Sanggabuana. "Ke arah sana," tunjuk saya.
Ini trek awal selepas plang penunjuk tadi. Treknya diawali oleh bebatuan. Setelah itu, treknya akan bercampur dengan tanah. Treknya pun mulai meninggi. Di trek ini kami bertemu dengan seorang bapak yang sedang membersihkan rumput-rumput dan pepohonan. Di trek ini pula kami bertemu dengan petani yang tengah asyik membajak sawah dengan sapinya sambil bernyanyi dengan bahasa tertentu. Yang agak mengherankan saya, di sawah ini saya melihat ikan buncirit. Ternyata di kaki gunung ada ikan buncirit, ya? :)
Setelah melewati trek yang cukup terjal sebagai pemanasan, kami disuguhi pemandangan yang cukup indah berupa undukan bukit-bukit yang mengelilingi area tempat kami berdiri. Rumah-rumah yang tampak di kejauhan adalah trek awal pendakian kami.
Kami juga mengabadikan sunrise meskipun agak terlambat sedikit. Cuaca nampak cukup berkabut.
"Mantap euy! Saya teu percaya ini teh ada di Karawang," seru si Piet sambil menyiapkan tabletnya untuk mengambil gambar. Ini kali ketiga dia mengucapkan kalimat yang sama.
Setelah mengabadikan sunrise (yang agak terlambat), kami melanjutkan perjalanan. Pemandangan selanjutnya adalah deretan persawahan berpola sengkedan. Setelah itu kami tiba di sebuah pondokan berupa warung dan beberapa pondokan lainnya. Beberapa rombongan nampak tengah menyeruput kopi dengan penganan lainnya. Entah apa yang mereka lakukan di sini. Kami hanya saling menyapa. Saya dan Piet tidak berhenti. Kami terus melanjutkan perjalanan hingga tiba di perkebunan kopi. Kami pun menyusuri area kebun kopi yang tengah berbuah.
Selepas area kebun kopi, kami disambut dengan rerimbunan pohon yang lebat. Ini pertanda kami telah tiba di tepi hutan. Treknya tanah berbatu dan masih datar. Semilir basah sejuk angin hutan mulai menyambut kami. Kabut pun perlahan menipis seiring kian beranjak sang raja siang untuk menghangatkan permukaan bumi.
"Alangkah indahnya! Alangkah segarnya! Ini teh beneran Karawang?" seru Piet dengan senyum sumringahnya. Ini kali kelima dia mengatakan seperti itu. Bagaimana tidak, kami disambut dengan suara riak-riak air yang memanjakan telinga, menyejukkan mata, dan mendamaikan hati.
"Ini teh aya di Karawang?" seru Piet lagi. Sudah enam kali dia mengatakan itu. Artinya, seakan-akan dia yang orang Karawang tidak percaya ada keindahan seperti ini di kotanya.
Akhirnya, setelah kurang lebih 45 menit berjalan, kami tiba di sebuah pondokan yang merupakan warung. Pemiliknya adalah Bu Amin, istri Pak Amin. (Ya iyalah, masa nama suaminya Pak Amin, istrinya dipanggil Bu Piet? Hehehe...) Bukan saya, hanya kebetulan saja namanya sama :) Kami beristirahat sejenak di sini. Di tempat ini sudah ada serombongan orang yang katanya mau menuju puncak. Saya salut sama rombongan ini. Mereka terdiri atas lelaki, perempuan, dan anak-anak. Entah apa tujuan mereka ke tempat ini. Saya memang tidak menanyakannya. Kalau hanya sekadar bertamasya, rasanya kurang sebanding antara kelelahan dengan kepuasan tamasyanya. Kami beristirahat dan berbincang-bincang di tempat ini sekitar 30 menit.
Oh ya, di tempat ini juga ada sungai dan pancuran. Katanya, banyak orang yang sengaja datang ke sini untuk sekadar mandi. Sekadar mandi kok jauh banget, ya? Hehehe...barangkali karena airnya sangat sejuk dan ada sensasi tersendiri manakala kita bisa mandi di tempat terpencil seperti ini.
Menurut informasi dari banyak blog yang saya baca tentang trek Sanggabuana, pancuran di sungai ini diberi nama Pancuran Kejayaan. Trek selanjutnya dikenal dengan istilah "Tanjakan 2 Jam." Jika pendaki berjalan stabil tanpa berhenti, mereka akan mendaki tanjakan ini dalam tempo dua jam. Treknya adalah melewati sungai dan pancuran lalu berbelok ke kanan lalu ke kiri lagi. Tandanya adalah adanya sebuah pohon besar yang tinggi menjulang. Treknya adalah jalan tanah berbatu.
Namun, ternyata ada tambahan trek baru menuju puncak. Treknya adalah melalui belakang pondokan Bu Amin, tanpa perlu menyeberangi sungai. Informasi ini saya dapatkan dari Opa Budi dan Pak Ketua, dua pendaki yang kami temui. Opa Budi berusia sekitar 70 tahun. Dia dan temannya sering ke Sanggabuana untuk sekadar pemanasan sebelum mendaki gunung-gunung lainnya. Di usianya itu ia telah mendaki banyak gunung seperti Gede Pangrango, Ciremai, Cikuray, Sumbing, bahkan Rinjani sudah dua kali didakinya. Saya salut dan respek untuk Opa Budi. Saya menjadi semakin bersemangat dan terinspirasi dari beliau.
Akhirnya, kami pun mengikuti Opa Budi dan temannya melalui trek baru tersebut. Menurut Opa, trek baru ini lebih dekat. Hanya butuh waktu 1,5 jam untuk menempuhnya. Saya dan Piet pun mulai menapaki jalan dengan trek tanah. Ternyata, treknya sangat terjal dan licin. Seringkali saya harus berpegangan pada batu, pohon, dan akar untuk merangkak naik.
Beda saya, beda pula Opa Budi. Meskipun tidak lagi dikatakan muda di usianya saat ini, Opa Budi melangkah pelan tapi pasti. Lama-kelamaan, saya pun ketinggalan. Dengan rasa malu, saya persilakan Opa Budi dan temannya untuk meninggalkan saya. "Jangan takut kesasar! Treknya jelas. Ikuti saja. Kalau nanti ada percabangan, ambil yang kiri terus! Kalau tidak mau kesasar, susul saya, ya!" kata Opa Budi. Saya hanya terdiam menggigit bibir.
"Uhu uhu uhu! Dasar Pegal Sudimakar! Dasar pendaki gagal, sudah diantar masih kesasar," lirih saya membatin diiringi tatapan kagum saya kepada Opa Budi yang terus melangkah kian meninggi. Sementara saya, masih harus merangkak lagi.
Oh ya, ke mana ya si Piet? Meskipun dia membawa keril berisi perbekalan kami, dia tidak merasa kelelahan. Dia hanya senyam-senyum melihat saya yang kepayahan.
Sungguh, di trek ini tidak ada bonusnya. Tidak ada jalan datar yang bisa disusuri untuk sekadar mengambil napas dan mengistirahatkan otot kaki. Untunglah beberapa meter di bawah pohon besar ini ada lahan datar tuk sekadar belonjor. Saya heran dengan pohon di belakang saya. Yang saya tahu, batang yang menancap ke tanah satu, tetapi cabang dan ranting yang banyak. Ini pohon berbeda. Batang yang menancap ke tanah sangat banyak, tetapi di atas mereka menyatu menjadi satu batang. Batang yang banyak itu pun berbeda panjangnya karena mengikuti tepi tebing. Ada yang tahu, pohon apakah ini?
Makin ke atas, treknya makin terjal dengan jalan sempit yang diapit jurang. Saya mengumpakannya seperti berjalan di atas bentuk segitiga samakaki. Bahkan, ada satu trek ekstrem. Kami harus berpegangan pada tali untuk melaluinya. Untunglah sudah ada tali di trek itu. Untuk yang meletakkan tali di situ, terima kasih, ya!
"Treknya serem, Bos!" teriak si Piet dari atas sana. Saya tidak menjawabnya. Jangankan menjawab, bernapas saja saya masih tersengal.
"Karawang, Pak! Ini Karawang!" seru si Piet lagi. Hehehe...rupanya sekarang dia sudah percaya dengan keberadaan tempat ini di wilayahnya.
Meskipun sangat kecapaian, terpaksa saya mendaki trek ekstrem tersebut. Ya iyalah, mau bagaimana lagi??? Mau turun? Mau menjadi pendaki gagal selamanya??? Ya enggak lah. Pertanyaan dan jawaban itu berkecamuk di sela deru napas saya yang satu dua. Dengan basmalah, saya pegang tali itu dan mulai menapaki treknya. Sejenak saya lihat ke kiri dan ke kanan, wuiiih syereeeem banget. Menurut bahasa Betawi, jumbleng banget! Dengan perjuangan keras dan motivasi dari Piet, akhirnya saya pun mampu melewatinya.
Si Piet memang lebih kuat dibanding saya. Selepas tanjakan ekstrem itu, ia terus berjalan. Lihat saja foto di bawah ini. Si Piet sudah mulai tidak terlihat dan...dia betul-betul meninggalkan saya sendirian. Sendirian. Sendirian, hanya ditemani pepohonan dan suara-suara binatang. Memang begitulah seharusnya. Kalau dia mengikuti saya, tentu itu akan lebih melelahkan karena dia membawa keril yang berat. Biarlah dia berjalan duluan lalu bisa beristirahat dengan tenang di atas sana. O ouw, di puncak maksudnya. Hehehe...
Setelah berjalan sekitar 1 jam 45 menit, selesailah sudah tanjakan tersebut saya lalui. Saya tiba di lahan datar. Ada pondokan kosong di sana. Saya melihat Piet sudah duduk di situ. Dia sedang mengobrol dengan beberapa orang yang sudah ada di sana. Rupanya mereka adalah para guru dan para siswa dari sebuah pesantren di Cileungsi. Mereka mendaki pada malam hari mulai pukul 19.00 WIB dan tiba di tempat tersebut pukul 01.00 WIB dini hari. Butuh 6 jam bagi mereka untuk tiba di situ. Mungkin karena malam hari dan rombongan, waktu tempuh mereka menjadi sangat lama. Adapun saya dan Piet, karena mendaki siang hari dan cuma berdua, waktu tempuh kami hanya 2 jam 45 menit.
Setelah tiba, saya beristirahat dua menit tanpa duduk. Saya dan Piet pun langsung menuju puncak. Di tengah trek kami menemukan plang bertuliskan "Dilarang mengambil rotan." Plang itu mungkin ditujukan bukan untuk orang seperti saya dan Piet. Bagaimana mungkin, untuk menyentuh rotan, apalagi membawanya, kami tidak berani. Batangnya berduri rapat seperti landak.
Mendekati puncak terdapat pohon-pohon yang telah meranggas dan mengering. Kita harus berhati-hati saat melewatinya. Tentu tidak bisa dibayangkan jika pohon itu tumbang saat kita lewat di bawahnya. Sebenarnya bisa sih dibayangkan, cuma malas aja membayangkannya :)
Treknya tanah dan licin. Butuh kehati-hatian di sini.
Hati-hati juga terhadap longsor. Mendekati puncak sering terjadi longsor. Foto ini salah satu buktinya. Longsornya sebenarnya menyeramkan, tetapi karena angle fotonya keren, jadi ga terlalu kelihatan mengerikan, ya? Hehehe.... Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri ke sana, ya! :)
Akhirnya, pada pukul 09. 50 WIB saya tiba di Puncak Sanggabuana. Si Piet, tentu saja, sudah sampai sejak tadi :) Sayang ada kabut, jadi saya tidak mengabadikan pemandangan di bawah lebih jelas.
Ini tanda bahwa kami berada di Puncak Sanggabuana. Takbiiiiiir!!! Allaaahu akbar!!!! Di sini juga banyak bangunan dan sebuah warung. Kami memesan kopi dan teh di warung ini.
Karena udah laper, kami pun menyantap nasi uduk yang kami beli di bawah pagi tadi. Opa Budi dan Pak Ketua pun nampak tengah beristirahat. Tak lama kemudian, mereka pun turun kembali. Setengah jam berikutnya, giliran kami yang turun.
Sebelum turun, Piet berucap lagi, "Karawang, Pak! Puncak Sanggabuana ini ada di Karawang, Pak!"
Sambil melengos pergi saya berujar lirih, "Ya iyalah! Siapa yang bilang ini Rinjani!"
Sebagai orang Karawang, tentu si Piet kini bisa berbangga karena ia telah berhasil menapaki tempat tertinggi di daerahnya.
"Pak, kita bukan lagi komunitas pegal alias para pendaki gagal. Tukar, Pak! Nama komunitas kita sekarang adalah PENSIL alias PENDAKI BERHASIL!" ucap si Piet. Saya hanya tertawa ngakak mendengarnya. Dalam hati saya membenarkannya. Setelah berterima kasih kepada Allah Subhanahu Wataala atas nikmat keberhasilan yang diberikan-Nya, saya dan Piet pun bersalaman dan memantapkan niat untuk menuruni puncak ini. Kami pun kini berjalan tegak. Ya iyalah, bukan karena sombong, Bro, tapi memang jalannya menurun. Kalau jalannya menunduk, bisa tersungkur. Iya kan??? Hehehe...
Emangnya si Piet doang yang bangga, saya juga. Terima kasih untuk H. Fadel, alumni Pondok Pesantren Attaqwa Putra Bekasi tahun 1996, teman periode saya, dan Karisma, angkatan saya, atas kaos merah ini. Kaosnya sudah sampai puncak, nih! :)
Jika kami mendaki sampai puncak membutuhkan waktu 3,5 jam, kami hanya membutuhkan waktu 1,5 jam untuk sampai di plang ini. Oh ya, kami juga sudah melaksanakan salat zuhur dan asar (jamak takdim) di pondokan Bu Amin tadi. Kami juga sudah berleha-leha di sana. Foto ini adalah ekspresi kesedihan saya karena harus berpisah dengan gunung yang identik dengan hutan, jurang, sungai, dingin, dan kabutnya. Uhu uhu uhu....
Pukul 13.50 WIB kami tiba di tempat parkir motor. Si Piet berpura-pura kelelahan karena dia tahu mau difoto. Hehehe...becanda, Bro!
Saya mengeluarkan si winy dari parkiran dan bersiap ke Curug Cigentis. Eeeh, hujan deras mengguyur. Niat ke Cigentis kami urungkan. Setelah menunggu sekitar setengah jam, kami pun mengambil arah ke kiri menuju Loji.
Karena rasa lapar yang mulai menjalar, kami pun mencari tempat makan dengan menu spesial dan makanan yang aduhai. Yupz, di Pasar Loji, kami pun menyantap sop iga. Mantap banget kuah beningnya! Nikmat banget! Panas-panas sedap! Murah banget lagi, cuma Rp15.000,00/porsi. Sweddaaap....
Di sini juga tersedia tahu pocong dan bakso beranak. What??? Namanya unik banget, tapi saya tidak mau menceritakan makanan-makanan itu. Mengapa? Hehehe, karena saya tidak tahu. Saya dan Piet berniat mampir lagi ke tempat ini kapan-kapan.
Numpang mejeng ah di sini. Maksudnya, biar saya ingat kalau kapan-kapan mau kembali ke sini lagi.
Hehehe...saya kasih tahu tempatnya aja deh. Ini namanya Rumah Makan Teh Yeni. Kalau berangkat dari Pangkalan, di perempatan Pasar Loji belok kanan. Rumah Makan Teh Yeni berada sekitar 30 meter di sebelah kanan. Jika dari arah Cigentis, RM Teh Yeni ada di sebelah kiri.
Bukan hanya makanannya yang unik, enak, dan murah, pemiliknya juga baik hati dan ramah. Nih orangnya.
Selepas mengisi perut, diiringi derasnya hujan, kami pun meninggalkan Pasar Loji. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Saya memacu si winy menyusuri Jalan Pangkalan lalu berbelok ke kiri menyusuri Kalimalang hingga Kampus Unisma Bekasi. Tepat pukul 17.30 WIB, kami tiba di Stasiun Bekasi. Piet turun di situ. Dia melanjutkan perjalanan menuju Rawamangun, sedangkan saya terus menyusuri Jalan Perjuangan, Bekasi. Sepanjang perjalanan, dalam kesendirian saya, saya teringat omongan si Piet tentang istilah PENSIL, PENDAKI BERHASIL. Saya pun hanya tersenyum-senyum sendiri.
Syukurlah kalau kami sudah berhasil. Namun, ini hanya pemanasan sebelum pada pertengahan Mei nanti kami akan menuju Gunung Prau Wonosobo dan pertengahan Juli pasca-Idul Fitri nanti akan mendaki Gede Pangrango kembali.[NAM]
Pieeettt wauh teu ka siendang batur sakelas di smansaka
ReplyDeleteEndang anjun?
Deletehttps://youtu.be/krJNyrS4EkA
Delete