MENDAKI GEDE (1)

Entah dari mana harus saya memulai tulisan ini. Rasanya, saya kurang percaya diri menuliskannya. Namun, manakala saya ingat seseorang yang selalu menanyakannya, saya pun coba menjentikkan jemari dan meletakkannya di atas papan ketik. Bismillah…

Mendaki gunung. Ah, saya tidak pernah memikirkannya. Sewaktu saya menjadi anggota pramuka di Pondok Pesantren Attaqwa, rasanya sudah tidak ingin bercapek-becek ria dalam medan yang sulit. Begitu pun ketika saya melanjutkan studi S1 di UIN Jakarta 20 tahun silam. Saya pernah menjadi anggota Kembara Insani Ibnu Batutah (Ranita), organisasi pecinta alam yang bernaung di Fakultas Adab, tapi tujuan utamanya hanya ingin mengenal seseorang lebih dekat, bukan mengenal alam. J Saya tidak lama ikut Ranita. Jelajah alam sesekali saya lakukan saat aktif di Keluarga Olahraga Tarung Derajat (Kodrat) Satlat UIN Jakarta. Saya sering mengikuti latihan gabungan di Cidahu, Cibubur, Cileungsi, Cibinong, dan lain-lain. Akan tetapi, tak terbersit di hati saya untuk mendaki.

Setelah 20 tahun lulus dari perguruan tinggi dan berat badan saya kini kian menjadi, terbersit keinginan saya untuk mendaki. Pasalnya, teman kantor saya, Mas Aji, sering gonta-ganti mendaki. Ciremai, Selamet, Semeru, Rinjani, dan puluhan gunung lainnya sudah ia daki. Suatu hari, medio Agustus 2016, ia berkeinginan mengajak rekan-rekan kantornya yang tergabung dalam Divisi Litbang, 20 orang anggotanya, untuk mendaki. Gunung yang terdekat saja, katanya. Entah ada angin apa, tiba-tiba semua teman mengiyakan. Hari itu juga kami langsung mengumpulkan fotokopi KTP dan pendaftaran via online pun dilakukan. Dari 20 orang rekan kami, 15 orang memutuskan untuk ikut mendaki. Gunung Gede adalah tujuan kami.

Berbagai persiapan pun mulai dilakukan. Maklum saja, dari 15 orang, 12 di antaranya adalah pemula. Termasuk saya. J Persiapan meliputi pendaftaran online, cek kesehatan, dan pengisian data SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). Mas Aji memberikan list benda yang harus kami siapkan yang meliputi tas keril, kantong tidur (sleeping bag), matras, sarung tangan, kupluk atau buff, senter atau headlamp, sepatu gunung, pakaian ganti, 4 botol air menar 600 ml, obat-obatan pribadi, jaket, dan tentu saja, uang tunai. Kami pun harus mengumpulkan uang masing-masing senilai Rp200 ribu. Uang ini digunakan untuk pendaftaran, transportasi dari Gadog, dan perbekalan selama perjalanan. Adapun barang kelompok berupa tenda, flysheet, dan alat masak meminjam dari teman. Kami juga harus rajin lari pagi selama satu jam mulai hari itu.

Beberapa pekan menjelang hari H, 3 orang teman kami mengundurkan diri. Alasannya cukup syar’i yaitu sakit. Memang mereka menderita sakit. Maklum, saat itu musim hujan. Penyakit mudah datang bagi orang yang daya tahan tubuhnya lemah. Namun, beredar kabar bahwa musim kawin hewan sudah mulai di awal bulan tersebut. Hal ini membuat harimau semakin aktif di daerahnya. Salah satunya adalah Rawa Gayonggong. Ada yang melihatnya sedang mencari mangsa di sana. Mungkin ini pula yang menyebabkan sebagian teman kami agak khawatir sehingga memutuskan untuk tidak ikut serta. Tinggallah kami ber-12.

Sepekan sebelum keberangkatan pula, ada berita di televisi yang mengabarkan bahwa 1 dari 16 pendaki asal Universitas Binus tewas di Gunung Pangrango karena hipotermia (kedinginan). Hal ini membuat 3 orang teman kami mengundurkan diri. Tinggallah kami ber-9. Alhamdulillah, ke-9 orang ini tetap ber-azzam untuk mendaki.

Setelah segala persiapan dilakukan, akhirnya, tibalah waktu yang ditentukan. Kami yakin dan memutuskan untuk tetap mendaki meskipun hujan deras menaungi dan turun sejak siang hari. Selepas magrib, hari Ahad, tanggal 11 Desember 2016 M, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul Awal 1438 H, saya meninggalkan rumah saya menuju rumah Mas Fandi di Kranji. Saya, Mas Faisal, Piliang, dan Mas Heru bertemu di sana. Setelah itu, kami berlima pun menaiki angkutan umum menuju Stasiun Kereta Api Kranji. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB saat kereta yang kami tumpangi bertolak ke Manggarai. Setelah itu, kami pun berganti kereta menuju Stasiun Bogor.


Dalam perjalanan di kereta, Mas Wahyu mengabarkan bahwa ia dan Mas Piet sudah berada di titik pertemuan kami, yaitu masjid di Kampus Juanda. Namun, karena masjidnya terkunci, sementara hujan gerimis terus turun, Mas Wahyu, Mas Piet, yang kemudian bertemu Kang Ukis, pun memutuskan untuk bermalam di kantor Mas Joji yang berlokasi di Kampung Arab, Puncak. Sementara Mas Aji yang berangkat dari Cimori pun langsung menyusul mereka ke sana.

Sekitar pukul 23.30 WIB, kami berlima tiba di Stasiun Bogor. Karena sudah tidak ada angkutan umum, kami pun memutuskan untuk menggunakan Grab Car. Meskipun berkali-kali tertolak, akhirnya ada juga yang mau mengantarkan kami ke Kampung Arab. Dengan berdesak-desakan, kami pun berangkat diiringi rintik hujan.

Namun, harapan di luar kenyataan. Kemacetan mulai menyergap kami saat kami akan keluar tol Ciawi. Jalanan padat merayap. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 03.30 dini hari. Masya Allah, kami baru sampai Cimori. Di saat seperti itu, Mas Joji menghubungi saya. Dia meminta kami turun dari mobil dan menunggu jemputannya. Alhamdulillah, 15 menit kemudian Mas Joji tiba. Kami pun dibawanya menuju kantornya. Subhanallah, Mas Joji tidak melewati jalan utama. Ia menderu mobilnya di tengah rintik hujan dan gelapnya malam melewati jalan-jalan sempit perkampungan yang telah sepi. Hanya dibutuhkan waktu 15 menit baginya untuk tiba di kantornya. Ya, pukul 04.00 kami tiba di kantornya. Kami disambut derai tawa teman-teman kami yang baru saja mendusin dari tidurnya. Sementara kami, hanya memejamkan mata seadanya. L

Kami tak sempat beristirahat. Kami pun langsung menyantap timbel yang saya bawa. Setelah itu kami mengepak barang bawaan. Selepas melaksanaan salat subuh berjamaah di sebuah masjid di samping kantor Mas Joji, kami melanjutkan proses pengepakan. Tepat pukul 06.00, Senin pagi, kami bertolak menuju Cibodas dengan mobil Mas Joji dan sebuah angkutan umum. Lumayan, kami bisa tidur sekitar 40 menit di perjalanan.

Begitu tiba di pos pendaftaran, Mas Aji langsung mengurus surat-surat dan administrasi lainnya. Sementara Kang Ukis mengomandoi kami untuk meregangkan otot-otot. Tepat pukul 07.00 WIB, kami pun memulai perjalanan menuju Puncak Gede. [NAM]





Comments

Popular posts from this blog

MENDAKI SANGGABUANA

Mengajak Anak dan Teman Mendaki Perdana ke Gunung Sanggabuana, Karawang

BERSANTAI DI MUNARA