MENDAKI GEDE (2)


Tepat pukul 07.00 WIB pagi, Senin, 12 Desember 2016 M, bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1438 H, bertepatan dengan Hari Besar Islam yaitu Maulid Nabi Besar Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, kami – Mas Aji, Kang Ukis, Mas Piet, Mas Fandi, Mas Heru, Mas Faisal, Mas Wahyu, Piliang, dan saya – meninggalkan pos pendaftaran. Kami mulai menyusuri jalan tangga berbatu menuju puncak Gede. Hawa sejuk hutan yang basah menyapa kami. Pohon-pohon besar menaungi kami. Setapak demi setapak kami angkat dan ayunkan kaki diiringi desah napas yang keluar masuk silih berganti. Makin lama, kaki makin tertatih. Makin laju, napas kian memburu.

Saya sendiri tidak terlalu asing dengan rute awal ini. Saya pernah ke sini sebelumnya. – Dulu lebih berat lagi. Lebih berat karena saya belum pernah melewatinya dan lebih berat karena saya harus menggendong anak saya, Satrianegara. Saat itu kami menuju Air Terjun Cibeureum. – Karena itu, enteng saja saya melewati jalan batu menanjak berkelok, melewati Rawa Gayonggong, singgah sesaat di Telaga Warna, hingga tiba di Pos I Panyangcangan. Butuh waktu satu jam bagi kami untuk berkumpul kembali di pos ini. Sekitar lima menit kami beristirahat di sini. Setelah itu kami mengambil jalur ke kiri. Saya melihat banyak orang yang menuju jalur lurus. Itu jalur menuju Air Terjun Cibeureum.


Baru beberapa puluh meter kami melewati jalur datar, kami langsung berbelok ke kanan dan mendapati jalur menanjak. Susunan batu-batu penanda jalan selebar sekitar satu meter mulai rusak dan kurang beraturan. Rintik hujan mulai mengiringi perjalanan kami.

Mas Aji berkata bahwa tujuan berikutnya adalah Pos Air Panas. Perjalanan yang ditempuh akan memakan waktu sekitar 2 sampai 3 jam. Kami tidak diperkenankan beristirahat lama, kecuali bila sudah melewati Air Panas. Kang Ukis mengingatkan bahwa ruti dan pemandangan yang akan dilewati akan sedikit membosankan karena tidak ada perubahan model. Di sinilah saat-saat membosankan akan didapati. Benar saja. Tidak ada perubahan pemandangan yang kami temui. Kondisi jalan, tanaman, suara hewan, dan suasananya memang begitu-begitu saja.



Setelah 3 jam, sekitar pukul 10.00 WIB, tibalah kami di Pos Air Panas. Agak mengerikan, tetapi menantang juga saat kami melewatinya. Kami harus berjalan dengan hati-hati. Bila diperlukan, kami harus berpegangan dengan tali. Jika tidak, tebing dengan jurang curam itu sudah menanti. Di samping itu, kami harus berjalan bergantian dengan pendaki yang akan turun.

Kami melepas lelah di sedikit bidang datar setelah Air Panas. Kami makan jatah cemilan kami berupa 1 lontong dan 1 tahu goreng. Alhamdulillah, ada seorang pendaki yang memberikan kami 1 gelas kopi putih. Kami pun meneguknya bersama-sama. Sebagai rasa terima kasih, kami memberikannya 1 lontong dan 1 tahu goreng. Hanya 15 menit kami berada di sini. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju pos tujuan kami berikutnya, yaitu Kandang Batu.

Jalanan yang kami temui semakin meninggi. Rombongan kami pun terpencar. Untungnya, kami telah mempersiapkan 3 buah handy talky (HT) sehingga kami bisa saling menunggu. Di rute ini, jalanan sangat menanjak. Ditambah lagi dengan ramainya para pendaki yang hendak turun. Maklum, hari ini adalah hari libur. Setelah sekitar 30 menit berjalan, mata kami disodorkan pemandangan Air Terjun Pancaweuleuh yang mengagumkan dengan gemuruh suaranya yang menggetarkan. Menurut saya, sebenarnya mengerikan jika membayangkan tiba-tiba saya tergelincir dan jatuh ke bawah lalu terbawa arusnya. Masya Allah. Astagfirullah. Nauzubillah min zalik. J Tak terasa, di tengah guyuran hujan lebat, pukul 11.30 WIB kami tiba di Pos Kandang Batu. Kami tidak berhenti lama di sini. Kami hanya mengambil napas agar tidak terlalu tersengal. Saya dan rombongan masih terpisah dalam 3 kelompok kecil. Kami terus melanjutkan menuju pos berikutnya, Kandang Badak.



Jalan menuju Kandang Badak kian meninggi. Pemandangan masih didominasi pohon-pohon besar. Selama perjalanan hingga sampai di sini, kami tidak mendapatkan sinar matahari. Suasananya seperti pukul setengah enam sore. Teduh dan agak gelap. Di samping jalurnya berselimut kabut tipis, hujan tak henti-hentinya mengguyur kami. Setelah 2,5 jam perjalanan, tepatnya pukul 14.00 WIB, kami tiba di Pos Kandang Badak. Ramai sekali pendaki di sini. Puluhan tenda sudah terpasang. Terdengar di dalamnya suara tawa silih berganti, perempuan maupun lelaki. Kami pun menggelar flysheet sebagai alas. Di sini kami menyantap makan siang berupa nasi putih yang mengeras karena kedinginan, rendang telor buatan Piliang, dan ayam goreng. Kami menyeduh 2 gelas jahe panas untuk diminum bersama. Dingin sekali di sini. Untuk berwudhu saja, rasanya saya tidak sanggup. Kulit di jemari tangan dan kaki sudah putih pucat dan mengeriput. Kami melaksanakan salat zuhur berjamaah dan salat asar (jamak takdim). Kami pun mengisi perbekalan air di mata air yang sejuk di sini. Setelah 30 menit singgah di Kandang Badak, kami pun melanjutkan perjalanan. Dengan membuka semak dan berpegangan pada dahan pohon yang rapat, kami menyusuri jalan setapak yang sempit. Jalanan hijau berlumut. Begitu pula batang pohon dan akarnya. Pemandangan hanya dihiasi warna hijau, cuaca yang agak gelap, dan yang tetap setia menemani kami, titik-titik hujan. Saat ini kami berada di ketinggian sekitar 2.500 mdpl.



Tujuan kami berikutnya adalah puncak Gede. Kata Kang Ukis, butuh waktu sekitar 3 jam untuk dari Kandang Badak untuk sampai di puncak. Treknya pun sangat terjal. Mas Aji meminta kami mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan untuk pos terakhir yang akan kami tuju ini.


Benar saja. Kami amat kepayahan di rute ini. Maklum saja, sudah pendaki pemula, kurang persiapan latihan fisik, membawa beban teramat berat, ditambah lagi dengan harus berjalan seperti cicak. Cobaan ini tidak sampai di situ saja. Di tengah perjalanan, kami tiba di suatu percabangan: Ke kanan melalui Tanjakan Rante (Tanjakan Setan) atau ke kiri melalui jalur alternatif. Ke kanan batuan terjal. Ke kiri batuan yang merosot. Meskipun agak kurang yakin untuk melewati Tanjakan Rante, saya menguatkan hati untuk meniti tali-tali di tebing terjal itu. Tapi, antrean pendaki turun cukup menyita waktu. Saya pun memutuskan untuk mengambil jalur alternatif. Setelah menunggu teman-teman sekitar 15 menit, berkumpullah kami semua di sedikit area datar di atas Tanjakan Setan untuk mengumpulkan napas dan tenaga kami yang hancur berserakan berkeping-keping. Di hadapan kami membentang hutan terjal. Rute menuju puncak tidak jelas. Hanya ada bekas-bekas jalan air hujan. Menurut Mas Aji, itulah rute menuju puncak. Semua jalan yang dilewati ke atas akan mengarah ke puncak. Jadi, selama kita berjalan seperti cicak, kita akan tiba di puncak.


Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Hati ini ingin sekali bergegas melewati tebing terjal punggungan ini. Namun apalah daya, tenaga telah terkuras tanpa sisa. Dengan hanya mengandalkan mental baja, kami merangkak, merayap amat pelan meniti akar pepohonan. Di rute ini kami kembali terpisah dengan teman-teman. Mas Aji, Mas Faisal, Mas Wahyu, dan saya satu rombongan. Entah ke mana yang lain. Ketika saya berteriak sekuat-kuatnya memanggil mereka, tak sedikit pun saya mendapatkan jawaban. Hanya semilir angin diselingi batuk kecil kami yang memasuki gendang telinga. Selebihnya hanya kesunyian. Hujan pun enggan berhenti. Cobaan kini bertambah lagi, gelap mulai menyergap. Waktu telah menunjukkan pukul setengah enam. Entah di mana kami berada.

Dalam napas satu dua, dengan tenaga yang habis tak menyisa, sayup-sayup di atas sana terlihat cahaya mengerlip. “Itu isyarat lampu dari Mas Faisal. Dia sudah sampai puncak. Ayo, Pak! Semangat, Pak! Kita sampai puncak, Pak!” seru Mas Aji. Saya dan Mas Wahyu hanya saling berpandang sayu. Walau tak ada lagi tenaga tersisa, kami tak mau menyerah. Kami merangkak amat perlahan menuju cahaya.

“Allahu akbar! Allahu akbar!” teriak teman-teman saya.

“Lewat mana, Pak? Kok lama banget sampainya?” tanya salah seorang di antara mereka. Sekata pun saya tak menjawab.

Mas Aji menghampiri saya dan berujar pelan,” Kita sudah sampai puncak Gede, Pak. Bapak berhasil, Pak!”

Saya pun tersenyum dan membuka sedikit bibir tuk tertawa hingga tetesan air hujan yang dingin masuk ke dalamnya. Saya pandangi sekeliling saya. Saya tidak melihat apa-apa. Semuanya hanya hitam. Kiri, kanan, depan, atas, semuanya pekat. Saya tidak melihat apa-apa.

“Mana puncaknya? Mana kawahnya?” tanya saya lirih.

“Sudah malam, Pak. Puncaknya tidak kelihatan. Sepertinya sedang ada badai ringan juga. Kita harus segera melanjutkan perjalanan, Pak. Kita sudah kehabisan air. Kita juga kehabisan area untuk mendirikan tenda di sini. Di samping tentu saja sangat berbahaya berkemah di sini. Ayo, Pak, kita lanjutkan perjalanan!” jawab Mas Aji menyemangati.

Saya hanya tersenyum lirih. Perlahan air mata saya menitik. Lama-lama kelamaan butiran bening mengalir. Air mata saya turun deras sederas titik-titik hujan berkabut yang seolah menampar pipi saya. Saya telah gagal. Saya telah gagal. Saya telah membuat postingan di media sosial bahwa saya akan berpose di puncak Gede. Tapi, bagaimana mungkin, hanya kepekatan yang terlihat. Bahkan untuk melihat kawan saya yang berjarak dua meter saja sangat sulit.

Perlahan saya bangkit. Saya terima pinjaman senter dari Mas Faisal. Sesekali saya nyalakan. Saya pun mengikuti cahaya yang dipantulkan dari senter teman-teman saya di depan. Hanya Mas Aji yang berada paling belakang untuk mengawal kami. Kutengok ke kiri ke arah kawah yang aku impikan untuk berselfi. Tak terlihat apa-apa. Hanya putih kabut yang menyelimuti malam. Kutolehkan pandanganku ke arah kanan, ke arah tebing curang yang ditutupi rimbun semak pepohonan. Hanya kepekatan yang terlihat. Batinku terus menangis, meratapi kegagalan ini. Kegelapan telah menghalangi kesombonganku untuk unjuk gigi bahwa aku telah menginjakkan kaki di puncak ini. Napasku kian tersengal. Dadaku terasa terjepit. Aku pun terjatuh di jalan batu berpasir.

“Pak, Pak, ada apa, Pak? Tidak apa-apa, kan, Pak?” ucap Mas Aji mengkhawatirkan saya. Saya dipapahnya untuk berdiri, tapi saya tidak sanggup. Seluruh persendian saya terasa kaku. Badan saya bergetar menggigil. Dinginnya terasa hingga menusuk tulang. Jari kaki saya mendadak menyatu. Saya hanya melenguh pelan. Saya balikkan badan agar terlentang. Saya stabilkan napas untuk melonggarkan dada. Namun, saat mata saya membuka, saya berteriak kaget, “Astagfirullah al-aziiiiim.”

“Kenapa, Pak?” tanya Mas Aji heran.

“Itu…itu…,” jawab saya dengan gemetar sambil menunjuk sesuatu yang hitam, menonjol seram di antara barisan putih yang mengelilingi. Itu seperti kepala naga dengan matanya yang siap membuka di film Hobbit. Terlihat sangat menakutkan.

“Oh, itu Gunung Pangrango, Pak,” ucapnya. Tapi, saya tak memedulikan jawaban Mas Aji. Saya segera membalikkan badang dan bangkit berdiri. Dengan perasaan ketakutan yang amat sangat, saya langkahkan kaki. Terus dan terus, hingga Kang Ukis yang berjalan paling depan pun saya lancangi. Mendadak ada tenaga baru yang menghinggapi tubuh saya. Hingga tak terasa saya tiba di ujung puncak. Di situ samar terlihat papan bertuliskan Puncak Gunung Gede. Tapi, saya tidak peduli lagi.[NAM]



  



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

MENDAKI SANGGABUANA

Mengajak Anak dan Teman Mendaki Perdana ke Gunung Sanggabuana, Karawang

BERSANTAI DI MUNARA