MENDAKI GEDE (3)
Kusorot jam
tanganku. Waktu telah menunjukkan pukul 19.00 WIB ketika ke-9 temanku berkumpul
di titik tertinggi Puncak Gunung Gede. Di hadapan kami, menurut Kang Ukis,
terdapat jalan menurun menuju Alun-alun Suryakencana. Aku berusaha memicingkan
dan memelototkan mataku untuk melihat jalannya, tapi percuma, tidak terlihat
apa-apa. Hanya kegelapan. Semua hitam. Bahkan, ketika kusoroti dengan senter
pena milik Mas Faisal, yang terlihat sangat samar. Jarak pandangku hanya dua
meter saja.
Doc. Internet
Kang Ukis
mengomandoi untuk memulai perjalanan menuruni punggungan gunung ini. Ia
berjalan di depan, memimpin kami. Aku mengikuti setelahnya. Sejenak kutolehkan
pandanganku ke kanan. Kulihat lagi pongah dan gagahnya Pangrango. Kusunggingkan
senyum kecil di bibir kananku. Suatu saat aku akan berada di sana, pikirku.
Gila, pikirku lagi. Kugerakkan bibirku mengucap basmalah seiring kaki kananku
melangkah menuruni jalan berpasir itu. Kuikuti langkah Kang Ukis satu per satu.
Sementara itu, hujan masih sangat setia menemani langkah-langkah kami.
Doc. Internet
Jalanan menurun ini cukup curam. Treknya pun hanya bisa dilalui satu orang. Treknya tanah berbatu. Seringkali aku harus berpegangan pada dahan pohon (sebesar lengan orang dewasa) agar tidak terpelanting. Pepohonan yang rapat ini tidak hanya membantu kami turun, tetapi juga melindungi kami dari deru kabut dan tamparan airnya. Dingin yang menusuk tulang pun agak berkurang.
Cahaya senterku
yang membelah malam seolah menghasilkan gerakan-gerakan warna hitam yang
bergelombang. Makin lama memandangnya, makin mengingatkanku dengan sesuatu. Rok
hitam, ya, rok hitam bergelombang. Rok hitam yang penuh kesan. Ia bergelombang
ketika si pemiliknya berjalan. Aku pernah melihat sekali, tetapi tak mampu
melupakannya hingga kini. Berpuluh tahun lalu, saat berjalan dari perpustakaan
kampus tempatku menimba ilmu hingga menyeberang jalan raya menuju tempat
tinggalnya. Karena jalan setapak, sesekali ia menengok ke belakang. Kulihat
wajah mungil dengan senyum manis dan gigi yang teratur rapi. Sampeyan mirip
Sarah Sechan, begitu kadang aku candakan.
“Stoooop!!!”
tiba-tiba kudengar suara mengagetkanku. Aku terhenyak. Aku tersadar dari
halusinasi. Ternyata, kisah Aaron Stone yang diangkat dalam “127 Hours” memang
benar terjadi. Aku merasakannya. Bukan saat ia memotong tangannya, tetapi saat
kondisi sendiri dalam kediaman lalu ia berhalusinasi.
“Istirahaaat!”
Sayup kudengar
teriakan temanku di belakang. Aku pun berhenti. Kusorotkan cahaya ke jam
tanganku, pukul 19.30 WIB. Setengah jam sudah kami berjalan tanpa berhenti. Aku
mengernyitkan kening. Aku heran dengan diriku sendiri. Sejak awal mendaki, aku
adalah orang yang selalu tertinggal jalannya karena berhenti setiap lima
menitnya. Kini sudah setengah jam, tapi aku tak merasakan kelelahan. Napas
memburu yang menjadi masalahku kini tiada lagi. Aku mampu bernapas dengan
teratur rapi. Aku senyum-senyum sendiri. Mungkinkah karena si Sarah Sechan
tadi?
“Menanjak dan
menurun memang beda, Pak. Menanjak bisa lima jam, tetapi menurun kadang cuma
butuh setengah jam,” jawab Kang Ukis. Aku hanya manggut-manggut.
Kami terus
berjalan. Berjalan menembus hutan dan kegelapan. Tak kurasakan kali ini
kelelahan. Aku berjalan dengan riang dan berhias senyuman. Hingga tak terasa,
tibalah kami di jalan datar saat waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB.
“Alhamdulillah,
Pak, kita sudah Surken. Di depan sana, Pak,” kata Kang Ukis.
Kuarahkan
pandanganku ke depan, ke samping, dan ke sekeliling. Ah, lagi-lagi kegelapan.
Tak kulihat apa-apa. Bahkan, kini kami dikepung kabut yang titik-titik airnya
gemar menampar-nampar pipi kami.
Tanpa berpikir
panjang, Kang Ukis langsung menurunkan tasnya dan mengeluarkan tenda yang ia
bawa. Ditemani Mas Piet dan Mas Heru, dengan cekatan ia merangkai batang-batang
besi. Sementara aku hanya memegang lampu, menerangi mereka yang sedang
berjibaku dengan waktu. Tak lama berselang, Mas Aji, Mas Wahyu, Mas Faisal, Piliang,
dan Mas Fandi pun tiba. Mereka pun segera mendirikan dua tenda lainnya. Waktu
telah menunjukkan pukul 21.00 WIB ketika ketiga tenda dan flysheet kami selesai
terpasang.
Aku pun beranjak
memasuki tenda kuning, tenda yang dipinjam dari Mas Zein, tapi sungguh aku tak
menyangka. Aku tidak mampu menggerakkan kakiku. Dengkul dan engkel kakiku kaku.
Dingin yang teramat sangat membuat persendian tulangku beku. Baru kuangkat
kakiku, aku tak mampu menahan bebanku. Aku pun terjatuh. Terpaksa aku merangkak
ke arah tenda.
Dengan susah
payah, aku berhasil memasuki tenda. Kulepas sepatu dan kaos kaki yang membau
lalu kubiarkan begitu saja. Ternyata, alas tendanya basah dan tidak rata.
Dengan susah payah kukeluarkan matras. Kugelar sebagai alas. Alhamdulillah,
lumayan hangat. Kukeluarkan semua isi tasku. Untungnya semua barang bawaanku
kumasukkan kantong plastik sehingga tetap kering. Kutinggal tasku di luar
tenda. Dengan tangan mengiting, kaki kaku, dan badan bau, kupakai jaket dan celana
panjangku. Kulingkarkan sorban di leherku. Kukurubi kepalaku dengan kupluk pinjaman
Mas Firman. Alhamdulillah, kurasakan kehangatan meski gigiku masih belum berhenti
bergemeretakan. Mas Faisal dan Piliang pun masuk ke tenda yang sama denganku. Kami
bertiga di tenda kuning ini. Mas Aji berdua dengan Mas Ukis. Mas Wahyu, Mas Heru,
Mas Fandi, dan Mas Piet di tenda lainnya. Aku bertiga pun melaksanakan salat isya
dan magrib berjamaah (qasar dan jamak takhir). Di dalam tenda terasa mulai hangat,
sementara kondisi di luar tenda masih dilanda badai ringan dengan kabut tebal dan
rintik hujan yang menggemuruhi flysheet kami. Kumasukkan seluruh tubuhku ke dalam
sleeping bag. Begitu pula dengan Mas Faisal dan Piliang. Kami pun tidur berhimpitan.
Hmm, terasa lebih hangat meskipun tubuh kami masih menggigil dingin.
“Teman-teman! Malam
ini kita makan pop mi, ya! Saya mau turun ke mata air untuk mengambil air. Siapa
yang mau ikut?” Terdengar suara Kang Ukis dari luar tenda. Namun, tak terdengar
jawaban.
“Ya udah, sama saya
aja. Popmi-nya ada di tas siapa, ya?” terdengar suara Mas Aji menyahut dan bertanya
lagi. Lagi-lagi, tak terdengar jawaban. Aku sendiri sudah tak perduli. Mau makan
atau tidak, sudah tak penting lagi. Yang terpenting adalah diam dalam kehangatan
dan keheningan.
Selepas ucapan Mas
Aji, tak terdengar suara lagi. Hanya gemuruh hujan yang menampar-nampar tenda kami.
Hanya gemuruh flysheet kami yang terdengar, seolah menjadi penjaga kami dari para
pengganggu. Malam kian pekat. Malam kian sepi. Malam kian dingin. Malam kian mengecilkan
kami di alam semesta ini.[NAM]
Doc. Internet
Comments
Post a Comment