MENDAKI GEDE (4)
Aku terbangun.
Aku segera menyadari bahwa aku masih di dalam tenda di Alun-alun Suryakencana.
Suara gemuruh flysheet terdengar jelas. Suara rintik-rintik air yang menghantam
tenda juga terdengar jelas. Aku masih kedinginan. Kucoba menggerakkan badan,
tetapi pinggangku terasa sakit sekali.
“Jam berapa
sekarang?!” teriakku berkali-kali. Aku tidak ingin terbangun sendiri.
“Jam setengah
tiga, Pak,” jawab Mas Heru dari tenda sebelah.
Sebenarnya aku
sudah menduganya. Aku memang memiliki kebiasaan bangun setiap setengah tiga
pagi untuk buang air kecil. Dengan susah payah kukeluarkan tubuhku dari
sleeping bag. Aku pun mendekatkan tubuh di pintu tenda. Aku berniat buang air
kecil dari pinggir tenda. Tapi, saat retsleting tenda kubuka, di depanku
terhampar tas-tas temanku yang dinaungi flysheet. Ah, rasanya tidak sampai hati
mengencinginya. Aku pun memaksakan diri keluar tenda meski harus setengah
merangkak karena pinggangku sakit teramat sangat. Aku pun berdiri membelakang
tenda-tenda dan memandang ke ruang kosong di hadapan mata. Namun, aku tidak
melihat apa-apa. Hanya kabut pekat yang berjalan cepat melewatiku sambil
membawa titik-titik air yang menusuk-nusuk pipiku. Hanya pipiku saja, karena
yang lainnya tertutup kain tebal. Kupelorotkan celanaku dengan sedikit memaksa.
Aaah, nikmat rasanya! Ucapku sambil memejamkan mata. Namun, manakala mataku
membuka, mendadak ketakutanku menyapa. Segera kuangkat celanaku dan bergegas
menuju tenda. Iiih, serem sekali di luar sana. Aku merasa seperti Janusz dan
keenam orang kawannya saat melarikan diri dari Penjara Siberia dalam balutan
badai salju di film Wayback.
Setelah memasuki
tenda, aku mencoba memejamkan mata. Tapi, rasa kantukku telah sirna. Aku tak
dapat tidur, sementara dingin kian menyelusup ke seluruh pori-poriku. Aku
menggigil dalam balutan sleeping bag-ku. Teringat aku akan Rabb-ku Yang
Mahakuasa atas segala-galanya. Kulantunkan ayat-ayat dalam surat-surat pendek
Alquran, tapi bukannya terpejam, mataku malah menitikkan air mata. Aku duduk dan
bermunajat kepada Allah Subhanahu Wataala. Dalam kedinginan dan kesendirian,
kulantunkan pula syair dari “Sang Legenda.”
Kutadahkan
kedua tanganku ke langit tinggi
Mohon
ampun pada-Mu, Tuhan Pengasih-Penyayang
Hapuskanlah
dosa-dosa yang kusengaja atau yang tak kusengaja
Terimalah
pintaku dan ampunilah semua
Aku
menjerit meratap pada-Mu ya Allah
Sungguh
aku menyesali segala dosa
Tenangkanlah
jiwaku menghadapi panggilan-Mu
Yang
merasa gelisah karena penuh dengan noda
Tiba-tiba
terdengar suara cekikikan di telingaku. Rupanya Mas Faisal dan Piliang
menertawaiku. Rupanya mereka tidak tidur dan mengetahui tingkah lakuku.
“Gimana mo
tidur, Pak? Bapak tidur paling dulu. Ngoroknya kenceng banget. Eeeh, lagi
suasana sunyi kaya gini, Bapak nyanyi teriak-teriak gitu,” ucap Piliang.
“Terusin
konsernya, Pak!” teriak temen-temen dari tenda lainnya. Rupanya mereka tidak
tidur juga. Hahaha, aku berhasil membangunkan mereka, pikirku. Bukan,
sebenarnya bukan suaraku. Rasa dingin yang menusuk-nusuk tulang yang membuat kami
sulit terpejam lama. Selepas itu, kami pun mengobrol hingga tak terasa, waktu
telah menunjukkan pukul setengah lima. Kami pun mengerjakan salat subuh
berjamaah sambil duduk dan menghadap entah ke arah mana. Menurut Mas Faisal,
arah kiblat yang kami hadap sudah benar menurut kompas yang ada di hp-nya.
Selepas melaksanakan salat subuh, rasa kantuk pun menyerang kami. Kami pun
tertidur beberapa saat.
“Pak, bangun,
Pak! Kita foto-foto, Pak!” terdengar suara Mas Aji.
Saya membuka
mata. Perlahan membuka retsleting tenda. Wah, sudah siang. Tumpukan tas kami
terlihat. Tapi, rasanya enggan keluar dari tenda. Hingga kemudian terdengar
suara kentut Piliang. Awalnya, saya dan Mas Faisal biasa-biasa saja. Memang,
kami saling mengucap permisi saat akan kentut di perjalanan pendakian karena berjalan
beriringan. Lama-kelamaan, karena terlalu sering kentut, kami sama-sama memaklumi.
Akhirnya, kami kentut kapan saja dan di mana saja tanpa perlu permisi lagi. Tapi,
kentut Piliang pagi ini berbeda.
“Sue, lu, Pil!” teriakku.
Aku dan Mas Faisal langsung mengeluarkan kepala keluar tenda menghirup udara segar
dalam-dalam. Kentut Piliang kali ini bau sekali.
“Karena masuk angin,
kentut kita jadi bau, Pak!” bela Piliang.
“Kentut saya ga bau,
Pil,” ucap saya sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung. Tiba-tiba, perut
saya bergejolak. Sejurus kemudian, saya pun kentut tanpa mengeluarkan suara.
“Saya kentut juga,
Pil,” ucap saya malu-malu. Ternyata, ….
“Sialan! Kentut Pak
Amin lebih bau! Huek, huek!!!” teriak Piliang sambil melompat keluar tenda diikuti
Mas Faisal. Ternyata benar ucapan Piliang. Karena masuk angin, kentut kami jadi
bau, sangat bau. J Aku pun ikut ngeloyor
keluar tenda.
“Waaaaaaah, indahnyaaaa….!”
seruku seperti gaya Upin-Ipin. Sungguh indah sekali Alun-alun Suryakencana. Di hadapanku
terpampang jalan pada luas nan hijau. Di bawahnya tampak sungai kecil mengalir.
Kulihat kiri-kanan banyak pepohonan. Inilah salah satu ciri khas di tempat ini,
edelweis. Kudekatkan diri dan jemariku untuk menyentuhnya. Warnanya hijau putih
dibalut embun pagi. Ia belum mekar lagi. Kubalikkan badanku ke belakang. Kupandangi
hutan yang semalam kami turuni. Di atas sana Puncak Gede terlihat. Tapi, kami tidak
bisa melihat cahaya mentari. Sudah dua hari ini mentari enggan menampakkan diri.
Kami pun menuruni Alun-alun Suryakencana dan berfoto di sana. Aku pun hendak mencuci
muka di sungai kecil di tengahnya. Namun, manakala tanganku menyentuh permukaan
airnya, seketika tanganku mengerut. Dingin sekali. Sangat dingin. Aku mengurungkan
niatku untuk mencuci mukaku. Aku pun berniat kembali ke tenda. Akan tetapi, pandanganku
tertutupi oleh kabut yang datang tiba-tiba. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku
coba menenangkan diri dan menunggu kabut berlalu. Setelah sekitar sepuluh menit
dalam buaian dinginnya kabut, aku pun bisa kembali melihat pemandangan. Aku segera
berlari menuju tenda. Kami pun memakan pop mi, sosis, apel, dan pir. Mas Piet dan
Mas Fandi bahkan memakan buah arbei liar yang tumbuh di sisi hutan. Setelah mengisi
perut, kami pun merapikan tenda.
Tepat pukul 08.30
WIB, kami telah selesai melakukan packing. Kami telah melakukan bersih-bersih. Kami
pun membentuk lingkaran dan saling memberikan kesan. Setelah berdoa, kami pun meninggalkan
Suryakencana.
Kill
nothing except time
Take
nothing except picture
Leave
nothing except footprint
[NAM]
Comments
Post a Comment